Saturday, October 6, 2012

Reog Ponorogo Dicaplok Malaysia



reog-atassinga.jpg
Setelah rebut-ribut tentang lagu Rasa Sayange mereda, rebutan klaim artefak/produk budaya antara Indonesia dan Malaysia kembali memanas. Pasalnya, di situs promosi kebudayaan Malaysia, ditampilkan tarian Barongan yang sangat mirip dengan tarian Reog Prgoyang berasal dari Ponorogo, Jawa Timur.
Di video yang saya saksikan situs Malaysia itu, Barongan ini memang dengan tarian Reog yang saya temukan di Youtube ini. Ada dadak merak, penthul, dan lain-lain. Persis seperti saat saya menyaksikan reog. Bedanya, musik atau gamelannya terdengar agak aneh!

barongan2.JPG
Kabar tentang tarian reog yang dicaplok menjadi tarian Barongan ini membuat warga Ponorogo menjadi kaget dan marah. Mereka bahkan siap turun ke jalan dan memprotes pencaplokan itu.
Pemerintah Kabupaten Ponorogo sendiri telah mendaftarkan tarian reog Ponorogo sebagai hak cipta milik kabupaten Ponorogo tercatat dengan nomor 026377 tertanggal 11 Februari 2004 dan diketahui langsung oleh menteri hukum dan hak asasi manusia Republik Indonesia.
Menurut Ahmad T tokoh reog di Ponorogo, sangat tidak relevan jika Malaysia mengklaim kesenian reog adalah miliknya karena selama ini untuk memiliki peralatan tersebut saja mereka membeli dari ponorogo.
Beberapa waktu yang lalu, Komps juga menulis tentang reog yang identik dengan Ponorogo. Cerita reog yang terkandung di dalam reog ponorogo mengambil kisah Panji. Ceritanya berkisar tentang perjalanan Prabu Kelana Sewandana mencari gadis pujaannya, ditemani prajurit berkuda dan patihnya yang setia, Bujangganong.
Ketika pilihan sang prabu jatuh pada putri Kediri, Dewi Sanggalangit, sang dewi memberi syarat bahwa ia akan menerima cintanya apabila sang prabu bersedia menciptakan sebuah kesenian baru. Maka terciptalah reog ponorogo.
“Sebenarnya gerakan-gerakan dalam tari reog ponorogo menggambarkan tingkah polah manusia dalam perjalanan hidup mulai lahir, hidup, hingga mati. Filosofinya sangat dalam,” ungkap sesepuh reog ponorogo, Kasni Gunopati alias Mbah Wo Kucing, seperti dikutip Kompas.
Mbah Wo Kucing memegang teguh keyakinannya bahwa asal mula tulisan reog adalah reyog, yang menurutnya mengandung kearifan yang dalam. Huruf-huruf reyog mewakili sebuah huruf depan kata-kata dalam tembang macapat Pocung yang berbunyi: rasa kidung/ingwang sukma adiluhung/Yang Widhi/olah kridaning Gusti/gelar gulung kersaning Kang Maha Kuasa.
Penggantian reyog menjadi reog-yang disebutkan untuk “kepentingan pembangunan”- saat itu sempat menimbulkan polemik. Bupati Ponorogo Markum Singodimejo yang mencetuskan nama reog tetap mempertahankannya sebagai slogan resmi Kabupaten Ponorogo.
 “Jangan jangan…jangan jangan lho ini…pemain reog versi malingsia itu TKI asal Jawa Timur yang dibayar gede disana. Jadi, mendingan kita tingkatkan apresiasi kita kepada seniman seniman daerah agar para seniman hebat ini ndak berpindah kelain hati,” demikian komentar seorang pengunjung Youtube bernama blutuut. Hemmm… mungkin ada benarnya. Sama dengan orang-orang Ponorogo yang migrasi ke Palembang, dan membentuk group reog di Palembang. “Nguri-uri kebudayaan,” begitu katanya.
Moral ceritanya adalah: kita harus kembali memelihara dan menjaga kesenian dan pekerja seni kita. Supaya kesenian kita tidak dipreteli, secepatnya Menteri Kebudayan kta untuk mempatenkan semua kesenian Indonesia (Wah berapa banyak ya?)
Di tangan Malaysia, kesenian Reog yang mungkin dibawa oleh para TKI, kini punya nilai jual. Apakah kita sadar bahwa kesenian kita punya nilai jual? Bagaimana selama ini kita mempromosikan dan menjual kesenian kita?
Kita tunggu apa langkah yang akan dilakukan oleh Menteri Kebudayaan kita, untuk menyuarakan aspirasi kita, khususnya warga Ponorogo.

0 komentar:

Post a Comment