Setelah rebut-ribut tentang lagu Rasa Sayange mereda,
rebutan klaim artefak/produk budaya antara Indonesia
dan Malaysia
kembali memanas. Pasalnya, di situs promosi kebudayaan Malaysia, ditampilkan tarian Barongan yang sangat
mirip dengan tarian Reog Prgoyang
berasal dari Ponorogo, Jawa Timur.
Di video yang saya saksikan
situs Malaysia
itu, Barongan ini memang dengan tarian Reog yang saya temukan di Youtube ini. Ada
dadak merak, penthul, dan lain-lain. Persis seperti saat saya menyaksikan reog.
Bedanya, musik atau gamelannya terdengar agak aneh!
Kabar tentang tarian reog yang dicaplok
menjadi tarian Barongan ini membuat warga Ponorogo menjadi kaget dan marah.
Mereka bahkan siap turun ke jalan dan memprotes pencaplokan itu.
Pemerintah Kabupaten
Ponorogo sendiri telah mendaftarkan tarian reog Ponorogo sebagai hak cipta
milik kabupaten Ponorogo tercatat dengan nomor 026377 tertanggal 11 Februari
2004 dan diketahui langsung oleh menteri hukum dan hak asasi manusia Republik
Indonesia.
Menurut Ahmad T tokoh reog
di Ponorogo, sangat tidak relevan jika Malaysia
mengklaim kesenian reog adalah miliknya karena selama ini untuk memiliki
peralatan tersebut saja mereka membeli dari ponorogo.
Beberapa waktu yang lalu, Komps juga menulis tentang reog yang identik
dengan Ponorogo. Cerita reog yang terkandung di dalam reog ponorogo mengambil
kisah Panji. Ceritanya berkisar tentang perjalanan Prabu Kelana Sewandana mencari
gadis pujaannya, ditemani prajurit berkuda dan patihnya yang setia,
Bujangganong.
Ketika pilihan sang prabu
jatuh pada putri Kediri, Dewi
Sanggalangit, sang dewi memberi syarat bahwa ia akan menerima cintanya apabila
sang prabu bersedia menciptakan sebuah kesenian baru. Maka terciptalah reog
ponorogo.
“Sebenarnya gerakan-gerakan
dalam tari reog ponorogo menggambarkan tingkah polah manusia dalam perjalanan
hidup mulai lahir, hidup, hingga mati. Filosofinya sangat dalam,” ungkap
sesepuh reog ponorogo, Kasni Gunopati alias Mbah Wo Kucing, seperti dikutip
Kompas.
Mbah Wo Kucing memegang teguh
keyakinannya bahwa asal mula tulisan reog adalah reyog, yang menurutnya
mengandung kearifan yang dalam. Huruf-huruf reyog mewakili sebuah huruf depan
kata-kata dalam tembang macapat Pocung yang berbunyi: rasa kidung/ingwang sukma
adiluhung/Yang Widhi/olah kridaning Gusti/gelar gulung kersaning Kang Maha
Kuasa.Penggantian reyog menjadi reog-yang disebutkan untuk “kepentingan pembangunan”- saat itu sempat menimbulkan polemik. Bupati Ponorogo Markum Singodimejo yang mencetuskan nama reog tetap mempertahankannya sebagai slogan resmi Kabupaten Ponorogo.
“Jangan
jangan…jangan jangan lho ini…pemain reog versi malingsia itu TKI asal Jawa
Timur yang dibayar gede disana. Jadi, mendingan kita tingkatkan apresiasi kita
kepada seniman seniman daerah agar para seniman hebat ini ndak berpindah kelain
hati,” demikian komentar seorang pengunjung Youtube bernama blutuut. Hemmm…
mungkin ada benarnya. Sama dengan orang-orang Ponorogo yang migrasi ke Palembang,
dan membentuk group reog di Palembang.
“Nguri-uri kebudayaan,” begitu katanya.
Moral ceritanya adalah: kita
harus kembali memelihara dan menjaga kesenian dan pekerja seni kita. Supaya
kesenian kita tidak dipreteli, secepatnya Menteri Kebudayan kta untuk
mempatenkan semua kesenian Indonesia
(Wah berapa banyak ya?)
Di tangan Malaysia,
kesenian Reog yang mungkin dibawa oleh para TKI, kini punya nilai jual. Apakah
kita sadar bahwa kesenian kita punya nilai jual? Bagaimana selama ini kita
mempromosikan dan menjual kesenian kita?
Kita tunggu apa langkah yang
akan dilakukan oleh Menteri Kebudayaan kita, untuk menyuarakan aspirasi kita,
khususnya warga Ponorogo.
0 komentar:
Post a Comment